Praxis Logo
PUBLIC RELATIONS

Fenomena Blunder Komunikasi Politik di Indonesia, Apa Peran Public Relations Di Sini?

Written by

Santika Vania Putri

Invalid Date

Di dunia politik, kata-kata bisa menjadi senjata paling tajam. Dalam hitungan detik, satu pernyataan bisa mengubah persepsi publik, bahkan mengikis kepercayaan yang mungkin ada sedikit di masyarakat. Di Indonesia, jelas ini bukan cerita baru. Blunder komunikasi, terutama di dunia politik, baik berupa ucapan yang sembrono, pilihan kata yang tidak sensitif, maupun pernyataan yang salah konteks, sering menjadi headline media dan buah bibir masyarakat.


Ironisnya, blunder-blunder ini tidak hanya soal slip of the tongue atau “salah bicara” seperti klarifikasi para politikus ini setelah beritanya viral. Ada masalah yang lebih dalam, yaitu sindrom kekuasaan. Tampaknya, begitu seseorang duduk di kursi eksekutif atau legislatif, cara pandang, cara bicara, bahkan cara mereka menilai rakyat bisa berubah. Memiliki kursi di Senayan seolah menciptakan jarak simbolis antara elit dan publik.


Kompilasi Blunder Komunikasi Politikus Indonesia


Bulan Februari silam, tagar #KaburAjaDulu sempat ramai di media sosial sebagai ekspresi kekecewaan masyarakat Indonesia, khususnya anak muda dan angkatan kerja produktif. Tagar ini bak simbol kritik sosial terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai belum cukup menjawab masalah ketenagakerjaan dan kesejahteraan rakyat.


Mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, menanggapi fenomena ini dengan komentar, “Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi.” Sebuah ucapan kurang sensitif di tengah rasa kekecewaan dan kegelisahan rakyat secara serius, sekaligus memperburuk persepsi terhadap upaya pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja yang layak.


Sebulan kemudian, pada Maret 2025 lalu, publik dan jagat media sosial di Indonesia digemparkan oleh insiden teror yang menargetkan redaksi Tempo. Sebuah paket berisi kepala babi yang sudah dipotong kedua telinganya dikirim ke kantor Tempo, ditujukan kepada wartawan dan host siniar Bocor Alus Politik, Fransisca Christy Rosana yang sedang menulis laporan utama tentang aktor utama revisi UU TNI yang disahkan DPR pada 20 Maret 2025.


Ancaman ini menjadi sorotan setelah Hasan Nasbi, Kepala Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia, merespons pertanyaan wartawan mengenai teror kepala babi yang dikirim ke kantor Tempo dengan komentar enteng: “Sudah dimasak saja.” Bagaimana bisa, seorang Kepala Komunikasi Kepresidenan RI, secara tidak sensitif merespons hal yang dapat menjadi ancaman serius terhadap kebebasan pers dengan komentar seringan ini?


Pada Agustus 2025, Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir dengan ringan menyebut besaran tunjangan perumahan anggota DPR yang mencapai Rp 50 juta per bulan. Mungkin niatnya untuk transparansi, tetapi di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit, pernyataan itu justru terasa sebagai simbol ketimpangan bagi masyarakat.


Alih-alih meredakan kritik publik yang kian memanas, respons berbeda datang dari anggota DPR RI yang kini sudah dinonaktifkan, Nafa Urbach. Lewat unggahan di media sosialnya, Nafa justru menuang bensin ke kobaran api. Dari dalam mobil mewahnya, ia mengeluhkan kemacetan dari rumahnya di Bintaro menuju Senayan. Karena itu, menurutnya, wajar jika anggota DPR menerima tunjangan Rp 50 juta per bulan untuk menyewa rumah di dekat Senayan.


Sebuah keluhan tone-deaf yang seakan menutup mata bagaimana jutaan warga setiap hari menghadapi kondisi lebih buruk tanpa fasilitas dan privilese yang sama. Belum juga reda, Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR, malah mempertebal kesan arogan dengan menyatakan, “Orang yang minta DPR dibubarkan itu orang tolol sedunia.” Bukannya membuka ruang dialog, ucapan tersebut malah mengunci pintu komunikasi.


Beberapa contoh pernyataan blunder di atas menunjukkan satu pola; komunikasi tanpa kendali dapat dengan cepat menjadi bumerang. Tidak hanya nama pribadi yang tercoreng, melainkan juga merusak kredibilitas institusi itu sendiri. Apalagi sekarang blunder komunikasi di era media sosial jauh lebih berisiko. Setiap ucapan bisa langsung diviralkan, dipotong-potong, dan diberi framing sesuai kepentingan oposisi.


Hal ini sejalan dengan bahasan dalam Podcast Proxemics Ep 11 yang menekankan bahwa kegagalan para pemimpin–baik verbal maupun nonverbal–justru memperlebar jarak dengan masyarakat. Alih-alih meredakan ketegangan, sikap yang dianggap meremehkan kondisi rakyat semakin memperburuk ketidakpercayaan dan berpotensi menyulut konflik sosial yang lebih luas.


Pentingnya Peran Public Relations Dalam Membentuk Citra Tokoh Publik


Sebagai seorang narasumber, terutama tokoh publik, public speaking yang baik di tengah krisis bukan sekadar berbicara lantang dan percaya diri. Di tengah krisis, terutama yang berhubungan dengan hidup khalayak luas, penting untuk berfokus pada membangun empati dan menyampaikan pesan yang sudah di-craft sedemikian rupa. Kata-kata yang digunakan pun dapat dianalisis sedalam mungkin.


Kata-kata sembrono dianggap sebagai bukti ketidakseriusan dan kata-kata yang salah konteks (situasi sosial, sensitivitas publik, dan timing) dianggap sebagai pengkhianatan publik. Ketika dihadang krisis, seorang narasumber juga perlu memahami bahwa komunikasi yang dilakukan bukan hanya keterampilan teknis, tetapi tanggung jawab moral.


Inilah mengapa kehadiran PR semakin vital. Tim komunikasi tidak hanya bertugas mengatur siaran pers atau konferensi pers, tetapi juga memantau percakapan digital, membaca sentimen publik, dan merancang respons cepat.


Sebagai seorang praktisi PR, sebenarnya semua fenomena ini jadi bahan pembelajaran gratis. Dari seluruh kasus yang pernah terjadi, kita bisa belajar untuk mengantisipasi dan mempersiapkan narasumber atau klien kita dengan matang. Ada beberapa alasan mendasar mengapa blunder dalam komunikasi kerap terulang:


> Kurangnya persiapan dan strategi

Banyak politisi berbicara di depan media tanpa perencanaan matang dan menguasai isu yang ada. Sedangkan, media bebas mengutip semua ucapan yang benar keluar dari narasumber.


> Ketiadaan Filter Etika

Dari beberapa studi kasus di atas, pola lain yang muncul adalah perasaan kebal kritik dan superior yang kemudian melahirkan ucapan arogan dan offensive.


> Minimnya Riset Publik

Komunikasi yang baik berangkat dari pemahaman terhadap audiens. Sayangnya, banyak politisi gagal membaca sensitivitas publik, sehingga banyak pernyataan yang dianggap tidak nyambung atau relate dengan realitas di masyarakat.


> Defensif dalam merespons

Ketika blunder sudah terjadi, berbagai alasan dalam klarifikasi disampaikan oleh para politisi. Dari meminta maaf hingga masih bersikap defensif dengan alasan “salah ngomong.”


Di sini, peran public relations bukan hanya untuk mempercantik citra, melainkan menjaga arah sentimen, mengelola risiko, dan membangun kembali jembatan dengan publik. Jika dihadapkan dengan posisi tersebut, maka ada tiga manfaat PR:


(1) Mencegah blunder komunikasi dengan menyiapkan talking points, melatih narasumber menghadapi media, dan memastikan pesan kunci yang disampaikan sudah sesuai dengan konteks publik.

(2) Mengelola krisis dengan cepat dengan merespons secara timely. Meski demikian, tetap terus pantau situasi dan pahami langkah-langkah yang tepat, apakah harus reaktif atau proaktif.

(3) Menyusun strategi dan taktik terstruktur dengan tidak hanya mementingkan keadaan saat krisis, tetapi memastikan juga keberlanjutan dalam membangun kembali kepercayaan publik pasca krisis.


Mengemas Pesan Publik dengan Konteks dan Empati


Lalu, seandainya ada strategi public relations yang matang, maka mungkin ucapan soal tunjangan Rp 50 juta bisa dikemas dengan penjelasan konteks, transparansi, dan rencana perbaikan, bukan sekadar angka. Contoh lain, kritik publik soal DPR bisa ditanggapi dengan memahami keresahan rakyat, bukan defensif dan/atau hinaan, dan juga keluhan macet bisa disampaikan sebagai refleksi atas masalah transportasi kota yang memerlukan solusi sistemik.


Jika perlu memberi contoh, salah satu pemimpin politik yang mampu menunjukkan komunikasi publik yang efektif di tengah krisis dapat dilihat dari mantan Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern. Tragedi penembakan di masjid Christchurch tahun 2019 dan saat Covid-19 melanda Selandia Baru menjadi dua kejadian utama yang membuat Jacinda banjir pujian oleh publik.


Pada kejadian Christchurch, ia menyampaikan, “He sought many things from his act of terror, but one was notoriety – that is why you will never hear me mention his name.” Pernyataan ini menggeser fokus dari pelaku ke korban dan keluarganya, sehingga mencegah glorifikasi terorisme dan menekankan sisi kemanusiaan.


Saat pandemi COVID-19, gaya komunikasinya kembali konsisten: jelas, empatik, dan menggerakan, contohnya frasa “Go hard, go early” menjadi simbol kepemimpinannya yang cepat dan tegas dalam mengambil keputusan lockdown, sekaligus mengajak publik berpartisipasi secara kolektif.


Ardern mampu menyatukan rasa empati, kejelasan pesan, dan terkenal menjadi pemimpin yang berprinsip. Ketika sedang krisis, ia tidak hanya menenangkan publik, tetapi juga menggerakan tindak nyata dan memastikan bahwa rakyatnya tetap bersatu dengan terus meneguhkan kepercayaan publik kepada pemerintah.


Dengan demikian, tidak hanya politisi, tetapi para narasumber lain juga tidak bisa berbicara sembarangan di ruang publik. Kata-kata bukan hanya milik pribadi, melainkan representasi jabatan dan juga institusi tempat mereka bekerja. Di era keterbukaan informasi saat ini, masyarakat tidak lagi pasif, namun cerdas, kritis, dan siap menuntut pertanggungjawaban dari setiap kata yang keluar dari tokoh publik.


Maka dari itu, para praktisi PR bisa terus mengingatkan klien atau narasumbernya bahwa sebelum bicara, berpikirlah. Sebelum melontarkan kalimat, bayangkan resonansinya!

Ingin mempersiapkan narasumber agar lebih siap menghadapi media? Hubungi saya di [email protected] jika membutuhkan berbagai program media training yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan Anda!

HOW CAN WE HELP?

© 2025 Praxis. All rights reserved. All articles and content on this site are the intellectual property of Praxis and our clients, and may not be reproduced or used without permission. This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply. View our Privacy Policy.

POWERED BY PRAXIS
PRAXIS © 2025ALL RIGHT RESERVED.